MENANTI HUJAN
Naya masih memperhatikan sahabatnya yang tengah duduk
memeluk lulut seraya mengamati hujan yang turun dengan derasnya. Terbesit
sebuah keinginan yang datang dari hati Naya untuk membawa sahabatnya keluar
rumah, menikmati bagaimana rintik-rintik hujan itu memeluk tubuh tubuh mereka,
agar sahabatnya dapat mengetahui bagaimana kerinduan yang kerap dirasakan Naya
dengan sahabatnya itu. Tapi itu terlalu menyakitkan untuk dilalui mereka.
***
Dengan anggunnya presipitasi berbentuk cairan itu
jatuh perlahan di atas permukaan wajah Ariana saat Ariana menatap langit,
rintik-rintik hujan yang ketika tingkat presipitasinya < 25 millimetre
(0.98 in) per jam masih membuat Ariana sanggup untuk berada di luar rumah
menunggu seseorang yang tak kunjung datang.
Gerimis melambangkan sebuah nada-nada hujan yang
jatuh perlahan. Menciptakan sebuah melodi klasik yang indah. Tentang jiwa-jiwa
yang bertahan. Jiwa-jiwa yang sunyi sepi, yang menyimpan sebuah rindu yang
tersembunyi.
“Ri.. Ayo masuk, nanti kamu masuk angin.” Naya tak
habis pikir dengan Ariana sahabatnya, yang entah sejak kapan sangat menyukai
hujan.. Bila hujan turun Ariana tak pernah absen untuk bisa merasakan bagaimana
air hujan yang dingin itu memeluk erat tubuh Ari.
“Aku ingin selalu bisa seperti ini, merasakan
bagaimana langit memeluk bumi dalam derasnya. Menyatukan dua hal yang jauh dan
berbeda melalui medium air. Mencairkan apa yang disebut jarak dan hal-hal yang
tidak sama.” Begitu kata Ari yang setiap kali menikmati setiap tetes hujan yang
jatuh ditubuhnya.
Meskipun aneh atas tingkah laku Ari yang seperti
itu, Naya tetap tersenyum dan tertawa melihat Ari yang sering menganggap hujan
itu temannya.
“Haha.. Ari itu ada-ada aja masa bicara dengan
langit.” Naya masih memperhatikan Ari lewat celah-celah jendela.
“Aaaaaa..” Naya terperanjat saat mendengar Ari
berteriak, lantas Naya keluar rumah, hingga saat Naya tiba didepan pintu rumah,
Naya tercengang saat mendengar sebuah kalimat yang keluar dari dalam mulut Ari.
“Aku masih berdiri disini! Menikmati bagaimana
dinginnya air hujan yang memeluk tubuhku erat, berharap agar air hujan yang
jatuh bisa melenyapkan air mata dan sebuah kerinduan yang tak pernah berujung
ini..”
Hujan selalu datang bersama harapan.
Hanya saja harapan
tak selamanya baik
Tubuh Ari kian bergetar.. bukan hanya karena
merasakan air hujan yang semakin deras menghantam tubuhnya tapi karena
merasakan bagaimana sakitnya mengucapkan kalimat-kalimat itu.
“Dulu.. Katamu jika aku keluar rumah melihat hujan,
aku akan tahu seberapa besar rindumu padaku, dan sekarang aku bukan hanya
melihat hujan itu, tapi aku merasakan hujan itu menyatu bersama tubuhku dan aku
menemukan sebuah kenyataan bahwa rindu itu benar-benar ada, rindu yang tulus, rindu
yang menyakitkan, rindu yang mematikan, kerinduan yang tak berujung, rindu yang
hanya datang dariku untukmu, BUKAN DARIMU UNTUKKU, tidak selaras dengan apa
yang kau ucapkan, karena rindu yang pernah kau bilang itu hanyalah dusta.”
“Aku lelah mencintaimu dengan tulus, merindukanmu
dengan segala apa yang ada pada dirimu, menantimu dengan sekeping hati yang tak
tertata rapi berharap kamu akan kembali dan menyusun sekeping hati ini seperti
semula.”
Naya merasakan sebuah kesakitan yang menusuk ulu
hatinya, sangat dalam.
Mungkin Ari bisa mengklabui Naya yang selama ini
menyimpan rapat-rapat apa yang dirasakan Ari, tapi tidak kali ini, Naya sudah
tahu semua, bahkan sekarang saat Naya melihat Ari memeluk lututnya diantara
hujan yang jatuh ke bumi, Naya tahu kali ini Ari sedang merusaha menyembunyikan
gemetar dalam tubuhnya.
Naya berjalan kearah Ari dengan sebuah payung yang
sudah bertengger ditanggannya, Naya berusaha tersenyum, tidak memperlihatkan
kesedihannya, tidak memperlihatkan bahwa dia sudah mengetahui semuanya.
Ari menoleh saat air hujan tak jatuh lagi diatas
tubuhnya, Ari melihat sebuah payung yang memberikan sebuah jarak antara dirinya
dan air hujan.
“Ri.. Kamu udah sejam kehujanan, masuk yuk.. nanti
kamu sakit.” Perintah Naya dengan seulas senyum.
“Aku belum mau masuk, kamu duluan saja nanti aku
menyusul.” Ari menenggelamkan wajahnya diantara lututnya.
“Engga Ri.. Kali ini kamu harus masuk, lihat dirimu!
Kau kedinginan Ri.” Naya meraih lengan Ari dan berusaha menarik lengan Ari agar
Ari mau masuk kedalam rumah.
“Kalau aku bilang engga ya ENGGA! Kamu ga usah
atur-atur hidup aku! Ini hidup aku dan aku berhak atas hidup aku! Dan lu bukan
siapa-siapa gua Nay!” Ari menepis tangan Naya.
Naya membuang payungnya kesembarang tempat lantas
melayangkan tangannya tepat dipipi kiri Ari, “Gua emang ga berhak ngatur-ngatur
hidup lu Ri, tapi gua SAHABAT lu.. gua ga pengen lu SAKIT kayak gini, Gua ga
pengen lu terus-terusan ngarepin dia yang sama skali ga pernah mikirin elu,
buat apa lu cape-cape mikirin dia yang udah NYIA-NYIAIN ELU, Sadar Ri SADAR!!”
Jelas Naya dengan menekankan suaranya pada setiap kata-kata yang dianggapnya
perlu untuk didengar dan dicerna.
Ari meraih tangan Naya, “Tampar gua lagi Nay, tampar
Nay.. biar gua sadar kalau tamparan elu itu lebih sakit dari sakitnya batin
gua.”
Naya meraih tubuh Ari, memeluknya erat, “Gua ga akan
ngelakuin itu Ri, gua bakal tunjukin kalau sakit di batin lu itu bisa sembuh,
gua ga bakal ngebiarin rasa sakit itu terus-terusan hinggap dalam diri lu.”
Naya merasakan tubuh Ari melemah dalam pelukannya.
***
Ariana tinggal satu atap dengan Naya, mereka
bersahabat sejak duduk di bangku SMA.. Kehidupan Ariana dan Naya sangat
bertolak belakang, Ariana adalah gadis yang mandiri yang memutuskan untuk
tinggal sendiri dibandingkan dengan Ibunya yang sibuk dengan kariernya tanpa
memperdulikan Ariana, sedangkan Naya tak seberuntung Ariana yang masih memiliki
Ibu, Naya tumbuh besar dalam lingkungan pedesaan dengan seorang bibinya yang
sudah tiada sehingga membuat Naya ke Bandung untuk melanjutkan sekolah dan
bertemulah mereka, Ariana dan Naya, dalam sebuah rumah kost dan sekolah yang
membuat mereka menjadi dua sahabat yang tak dapat dipisahkan.
Entah mengapa cuaca yang dingin di bulan Februari
tak berpengaruh besar terhadap Ariana yang tengah terjaga dalam tidur lelapnya.
Peluh
keringat meluncur begitu saja dipermukaan pipi Ari, membuat parit dipipi, yang
perlahan tapi pasti mulai banyak membasahi permukaan dahi dan rambut Ariana.
Salah! Ternyata meskipun Ariana berkeringat tapi
tubuhnya dingin seperti es. Ya Naya masih berada disisi Ari dan baru menyadari
bahwa tubuh Ari yang demam saat Naya mendaratkan tangannya diatas dahi Ariana.
“Aku juga sayang banget ko sama Al..” Ari terus saja
berkata seperti itu dan tersenyum meskipun dalam keadaan terjaga.
Naya merasa sakit mendengar kalimat yang keluar dari
mulut Ari, Naya tahu Ari sahabatnya sangat menyayangi Al, ya Alvaro, mantan
kekasih Ariana, tapi Ariana pernah bilang Alvaro itu bukan mantan kekasihnya
tapi lebih pada kekasih masalalunya, begitu katanya.
Naya menyingkirkan anak-anak rambut yang ada
dipermukan wajah Ari dan menyelipkannya dibelakang telinga Ari, “Aku kira kamu
udah ngelupain Alvaro Ri.. tapi aku salah, cinta kamu itu terlalu besar untuk
hilang begitu aja.”
Ketika Naya membasuh keringat Ari, Ari terbangun dan
membuka matanya.
“Ri.. Aku bikin kamu terbangun ya? Maaf aku ga
maksud.”
Ari tak menjawab, tatapan mata Ari kosong dan
bertanya-tanya lantas seperti mencari-cari sebuah jawaban atas pertanyaan yang
diajukan bola matanya.
“Kamu kenapa Ri?” Naya bertanya sekali lagi karena
khawatir.
Ariana membuka mulutnya dan bercerita kepada Naya
bahwa Ariana memimpikan Alvaro, didalam mimpi Ariana, Alvaro kembali pada
Ariana dan Alvaro bilang sangat menyayangi Ariana dan tak akan meninggalkannya
lagi.
Ariana tampak tersenyum saat menceritakan mimpinya
kepada Naya, namun tak lama kemudian Ariana tertunduk, menyadari bahwa itu
hanya sekedar mimpi, mimpi yang tak akan menjadi kenyataan walau bagaimanapun
caranya.
Naya memeluk Ari erat, berharap agar pelukannya bisa
mengurangi kesedihan hati sahabatnya. “Tenang Ri.. butiran hujan yang jernihpun
berasal dari awan yang gelap.”
***
Hujan kembali turun dengan derasnya, Ariana memaksa
untuk keluar rumah namun Naya tidak memperbolehkannya dengan alasan karena
Ariana masih demam.
Kali ini Ariana menurut, Ari hanya menikmati embun
yang tercipta di jendela karena hujan.
Makin
hari Ariana semakin bertingkah aneh, melamun sendiri, dan berbicara sendiri bahkan
memaki tak karuan didepan jendela saat melihat hujan turun, tidak seperti
kemarin-kemarin yang masih ingin keluar rumah menikmati hujan, atau sekalipun
tak diperbolehkan oleh Naya Ariana akan diam-diam menyentuh air hujan lewat
celah-celah jendela ataupun hanya menyentuh embun yang tercipta di atas
permukaan kaca jendela.
Tiap
malam juga Ariana memimpikan Alvaro, entah itu mimpi yang indah atau buruk
sekalipun Ariana akan tetap menangis karenanya. Melihat kenyataan itu membuat
Naya gusar.
“Bahkan
mimpi yang indah sekalipun bisa membuat seseorang menangis karena tahu itu
hanyalah mimpi dan tak akan menjadi kenyataan.” Naya masih bingung dengan apa
yang harus dilakukannya.
Ariana
menengadah saat mendengar suara derap langkah dari balik badannya, lantas
sedetik kemudian Ari membuang pandangannya kearah lain.
Naya
datang bersama seorang laki-laki dengan jas putih yang dapat dibilang jas
kebanggaan laki-laki itu.
Ya..
Naya datang bersama dokter untuk memeriksa keadaan Ariana. Pupil Naya membesar
dan rahang nyaris terkatup saat dokter itu menjelaskan keadaan Ariana.
Pernyataan dokter itu bagaikan sengatan lebah, bagai sebuah ombak yang
menghantam bebatuan besar.. Menusuk ulu hati, menyakitkan.
“Ariana
mengalami depresi berat dalam batinnya, bisa dibilang Ariana mengalami Broken Heart Syndrome atau nama lainnya Stress Cardiomyopathy, ini sangat
berdampak berat untuk kesehatan dan jiwanya, memang belum sangat buruk namun
bisa lebih buruk lagi jika batinnya masih dalam keadaan seperti ini, saya hanya
bisa memberikan obat penenang dan penghilang rasa sakit kepala, namun obat yang
paling berpengaruh itu hanyalah penyebab yang membuatnya seperti ini, ini
resepnya silahkan secepatnya ditebus. Terima kasih.”
Kenyataan
yang ironis ini membuat Naya harus segera bertindak.
***
Tiga hari setelah Dokter mendiagnosa Ariana, kondisi
Ariana masih sama memprihatinkannya, suka tersenyum sendiri bahkan berteriak
tak jelas.
Naya masih memperhatikan sahabatnya yang tengah
duduk memeluk lulut seraya mengamati hujan yang turun dengan derasnya. Terbesit
sebuah keinginan yang datang dari hati Naya untuk membawa sahabatnya keluar
rumah, menikmati bagaimana rintik-rintik hujan itu memeluk tubuh tubuh mereka,
agar sahabatnya dapat mengetahui bagaimana kerinduan yang kerap dirasakan Naya
dengan sahabatnya itu. Tapi itu terlalu menyakitkan untuk dilalui mereka.
Terdengar sebuah ketukan pintu, secepat mata
memandang Naya langsung membuka pintu dan mempersilahkan tamu istimewanya
masuk.
Dengan suara derap langkahnya orang itu masuk
melewati ruang tamu sembari mengedarkan pandangannya kesegala sudut rumah dan
ketika orang itu melihat seorang gadis tengah berdiri memandang ke luar jendela
dengan mata yang lurus dan kosong, orang itu diam bergeming, butuh untuk
dirinya menghela nafas atas apa yang dilihatnya sekarang.
Seorang gadis yang dulunya memiliki mata yang indah
penuh dengan pesona sekarang hanya bisa memandang kosong dengan kantung hitam
yang bergelayut diatas matanya.
Seorang gadis yang dulunya ceria sekarang terlihat
nyaris tak memiliki harapan.
Pemandangan ini sangat menohok jantung dan ulu hati
orang itu, lantas orang itu dengan langkah perlahan mendekati Ariana, semakin
dekat dengan jarak antara dia dan Ariana semakin cepat pula jantung orang itu
berpacu.
“Ariana..” Orang itu sangat berusaha memberanikan
diri untuk mengucapkan sesuatu karena kentara sekali dari gesture orang itu
yang merasa salah tingkah.
Ariana menoleh namun Ariana tak mengubris sapaan
orang itu.
Memori
otak Ariana membawanya kepada saat hubungan Ariana dan Alvaro kandas di tengah
jalan.
Ariana terlarut dalam masa lalunya, teringat
bagaimana seorang Alvaro mendekati wanita lain bahkan saat mereka masih bersama
walaupun dalam keadaan break, dan
saat itu teman laki-laki Ariana pernah bilang, biasanya kalau laki-laki udah minta break artinya dia udah bosen dan
bisa jadi udah punya cewe lain dihatinya.
Orang itu lantas menyematkan sebuah senyuman yang
membuat seraut wajah Ariana dan pandangannya berubah menjadi sarkastik.
“Kita
harus berakhir Ri.”
“Aku
lelah dan jenuh Ri, Aku ingin sendiri.. ku pikir kau cukup dewasa untuk
mengerti keputusanku.”
“Masa
lalu belum tentu jadi masa depan.”
Ariana berteriak histeris, menutup wajahnya, enggan
melihat wajah orang yang sangat dicintainya dengan sangat tulus itu, meskipun
akhirnya orang itu telah mengkhianati dan menyia-nyiakan Ariana.
“Aku ada disini Ri, aku janji kali ini aku ga akan
ninggalin kamu lagi, aku sayang kamu Ri.” Alvaro memeluk Ariana meski dengan
sekuat tenaga harus tetap bertahan karena Ariana yang memberontak dalam
pelukannya.
Setiap
hari Alvaro berada disisi Ariana, berusaha untuk mengembalikan semua keindahan
yang ada dalam diri Ariana, Alvaro menyadari bahwa Ariana tulus mencintainya
hingga Alvaro yakin untuk memulai hubungan baru, bukan mengulang hubungan.
Karena seperti yang pernah orang-orang bilang, film aja ga seru dan bosen kalau diulang terus, apalagi sebuah
hubungan? Maka dari itu mereka ga harus mengulang tapi memulai.
Karena sebenarnya hubungan yang baik itu adalah
hubungan yang saling mempercayai satu sama lain dan dua diantara keterkaitannya
adalah sebuah kesetiaan dan tanggung jawab atas hubungan itu.
Naya memperhatikan Ariana dan Alvaro diambang pintu,
dengan perasaan yang berjuta rasanya Naya meneteskan air matanya antara
perasaan bahagia atau mungkin sebaliknya.
***
“Kenapa
harus itu yang kamu minta? Aku kan udah pernah bilang aku sayang sama kamu, dan
aku ga mungkin ngelakuin itu.”
“Tapi
aku ga sayang sama kamu Al, aku nganggep kamu itu cuma sahabat kecil aku dan ga
lebih” Ungkap Naya.
“Lantas perjanjian kita 10 tahun silam kamu anggap
apa Nay?” Alvaro mulai merasa emosi.
“Itu terjadi saat kita masih berusia 7 tahun Al,
kamu bisa bayangkan bagaimana saat usia kita 7 tahun yang membuat sebuah
perjanjian, itu ga masuk akal, kita masih kecil saat itu dan sejalan dengan
waktu perasaan itu hilang, ga pernah ada lagi.”
“Alah omong kosong!!” Umpat Alvaro.
“Aku mohon Al, kembalilah pada Ariana.. Aku yakin
perasaan kamu terhadap Ariana belum sepenuhnya hilang karena kalian memang
pernah menjalin sebuah hubungan sebelumnya..” Naya tampak terlihat parau.
Alvaro melangkahkan kakinya menjauhi Naya.
“Aku ga mau bilang demi cinta kamu ke aku kamu harus
ngelakuin ini, aku cuma mau bilang please
demi persahabatan kita, persahabatan kita yang ga akan pernah berakhir..
Aku harap besok kamu datang kerumahku..”
***
Naya berdusta tentang perasaannya terhadap Alvaro,
perasaan Naya tetap sama dari sejak mereka kecil hingga saat ini, menyayanginya
lebih dari sahabat.. Namun Naya harus melakukannya untuk sebuah persahabatan
yang tak akan pernah berujung.
Setiap senyumku
adalah bahagiaku
Setiap bahagiaku
adalah nafasku
Setiap nafasku
hanyalah untuk mereka para sahabatku..
Hidup takkan
pernah adil untuk mereka yang egois
Hidup akan indah
untuk kita yang ikhlas
***
Kesehatan Ariana semakin membaik, malah bisa
dibilang sudah sembuh total atas depresinya.
Dengan langkah perlahan Alvaro mendekati Ariana yang
tengah memandang halaman rumah dari jendela.
“Hei.. lagi apa?” Alvaro mengacak-acak rambut
Ariana.
Ariana menyematkan sebuah senyumnya, “Menanti hujan”
Alvaro senang melihat Ariana tersenyum, “Terkadang
aku merasa bodoh karena pernah menyia-nyiakan ketulusanmu.” Alvaro sedikit
berkaca-kaca jika mengingat apa yang pernah terjadi.
“Al.. kamu ga bodoh ko, cuma kurang pinter aja haha”
“Iya.. iya.. Alvaro sayang…. banget sama Ariana dan
Al juga bahagia karena ketulusan itu udah ada digenggaman tangan Al lagi.”
Alvaro memeluk pinggang Ariana lantas mencium puncak kepala Ariana.
“Keluar yuk Ri..”
Ariana dan Alvaro melangkah keluar rumah.
“Ri.. Aku tak akan banyak mengumbar kata-kata cinta
tapi aku akan membuktikan bahwa aku benar-benar tulus mencintai kamu.”
“Hem.. ciyeee so sweet haha.” Ariana tertawa
mendengar Al berkata seperti itu.
“Serius Ri.. dan ini buat kamu..” Al mengeluarkan
mawar putih dari balik tubuhnya.
Tak lama hujanpun turun membasahi tubuh mereka.
Alvaro memeluk tubuh Ariana erat sekali seakan tak mau Ariana hilang dalam
dekapannya.
Sementara itu Naya yang berada tak jauh dari mereka
menitikan air mata atas kebahagiaan yang sahabatnya meskipun hatinya sedikit
terluka, mungkin air hujan bisa menghilangkan luka hatinya yang kemudian akan larut dan berkumpul
bersama air hujan lain, pikirnya.
“Semoga mereka akan bahagia selalu.. begitupun
dengan diriku.. semua akan indah pada waktunya, amin” Naya beranjak dan masuk
kedalam rumah.
“Sekarang dipenghujung akhir Februari, tanggal 29
yang hanya ada empat tahun sekali, dan langit adalah saksi bisu cinta kita
berdua, aku sayang kamu Ri..” Alvaro berkata tulus dari dalam hatinya.
Sekarang bukan hanya derasnya hujan yang memeluk
Ariana di antara titik-titik hujan lain, tapi orang yang menyayanginyalah yang
sudah ada tepat dihadapannya yang tengah memeluk dirinya di tengah-tengah
derasnya hujan.
Ariana menitikan air mata, dan air mata itu menyatu
dengan titik-titik hujan lain yang membuat Ariana berharap bahwa air mata yang
akan mengalir melewati pipinya adalah air mata yang didasari atas kebahagiaan
dan tak aka nada lagi air mata kesedihan karena air mata kesedihan itu akan
hilang terbawa oleh air hujan.
Setelah luka ada
bahagia
Setelah menunggu
pasti aka nada yang datang
Hiduplah seperti
pelangi
Selalu setia
menunggu hujan reda
Tuk bisa melihat
biasan cahaya dari matahari
Tuk bisa melihat
indahnya dunia
Karena semua
pasti akan indah pada waktunya
“Ariana juga
sayang banget sama Al..” Ariana tersenyum bahagia seperti indahnya lengkungan
pelangi setelah hujan reda.
Mengapa ada
orang yang setia menanti hujan?
Dia berharap ada
mentari yang akan membiaskan cahayanya
Dia berharap ada
pelangi setelahnya, dan
Dia rindu
bagaimana cara langit memeluk bumi dalam derasnya
Menyatukan hal
berbeda tanpa suatu jarak
Menciptakan
sebuah senyum yang melengkung indah seperti pelangi
THE END
follow wattpad saya @nrfitrianiputri
follow wattpad saya @nrfitrianiputri
bagus..
BalasHapusmakasih :)
BalasHapusbagus mbak cerpennya...menarik
BalasHapus